Ketupat

Sejarah Mengejutkan Ketupat yang Bikin Kamu Makin Bangga Saat Lebaran!

Culinary Portal – Ketupat merupakan makanan khas yang selalu hadir di momen Lebaran di Indonesia. Makanan ini terbuat dari beras yang dibungkus dengan anyaman janur atau daun kelapa muda berbentuk belah ketupat. Selain menjadi hidangan utama saat Idul Fitri, ketupat juga memiliki makna dan sejarah yang dalam. Tradisi ini tidak hanya ditemukan di Indonesia tetapi juga di beberapa wilayah Asia Tenggara lainnya. Lebaran dengan ketupat bukan sekadar soal rasa, tetapi juga simbol dari budaya dan nilai-nilai sosial yang telah diwariskan turun-temurun. Seiring waktu, ketupat berkembang menjadi lambang pengakuan dosa, penyucian diri, dan sedekah yang melimpah. Keberadaannya dalam tradisi Lebaran membuat makanan ini lebih dari sekadar santapan, melainkan bagian penting dari ritual dan perayaan umat Islam.

Sejarah Ketupat dan Perannya dalam Penyebaran Islam di Jawa

Ketupat diyakini memiliki akar sejarah yang sangat kuat, terutama di Pulau Jawa. Makanan ini telah digunakan sejak masa Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo yang berperan besar dalam penyebaran Islam di Jawa pada abad ke-15 dan ke-16. Ketupat dijadikan media dakwah dan simbol perayaan Islam saat pemerintahan Kerajaan Demak di bawah Raden Patah. Penggunaan ketupat sebagai simbol religi membuatnya menjadi media yang efektif untuk memperkenalkan ajaran Islam di kalangan masyarakat pesisir utara Jawa. Budaya ketupat merupakan perpaduan unsur Jawa dan Hindu yang kemudian diselaraskan dengan nilai-nilai Islam. Seiring waktu, ketupat menjadi identitas khas masyarakat pesisir yang banyak ditumbuhi pohon kelapa sehingga bahan anyaman ketupat biasanya berasal dari daun kelapa atau nyiur.

“Baca juga: Resep Ikan Pari Bakar Super Lezat, Sekali Coba Dijamin Lidah Kamu Bergoyang!”

Makna Filosofis Ketupat dalam Tradisi Lebaran

Hidangan ini tidak hanya menjadi santapan, tetapi juga sarat makna filosofis yang mendalam. Di masyarakat Jawa dan Sunda, makanan ini dikenal sebagai kupat yang berarti ngaku lepat atau mengakui kesalahan. Bentuknya yang memiliki empat sisi melambangkan empat makna utama dalam tradisi Lebaran. Pertama, sisi yang disebut Lebaran berarti pintu ampunan yang terbuka lebar bagi manusia. Kedua, luberan yang berarti memberi sedekah dan melimpahkan rejeki kepada sesama. Ketiga, leburan yang melambangkan pelepasan dan penghapusan dosa yang telah diperbuat selama setahun. Terakhir, laburan yang mengandung arti menyucikan diri dan kembali seperti bayi yang suci. Warna kuning pada janur anyaman juga memiliki arti khusus yaitu melambangkan identitas budaya pesisir yang berbeda dari warna hijau Timur Tengah atau merah Asia Timur.

Ragam Jenis Ketupat dan Cara Penyajiannya di Berbagai Daerah

Di Indonesia, makanan ini dikenal dalam berbagai variasi yang khas sesuai daerahnya. Misalnya, di Jawa Barat dan Jawa Tengah, hidangan ini biasanya disajikan dengan opor ayam, sambal goreng ati, atau sayur labu. Warga Madura memiliki versi bawang yang berbentuk persegi empat dengan tambahan bumbu bawang sebagai penyedap. Di Tegal, dikenal jenis glabed yang dimasak dengan kuah kuning kental. Sementara itu, masyarakat Betawi mengenal bebanci yang disajikan dengan kuah santan berisi daging sapi dan rempah-rempah khas. Beras yang digunakan dimasukkan ke dalam anyaman janur dan kemudian dikukus hingga matang sempurna. Ragam jenis ini menunjukkan kekayaan kuliner Nusantara yang dipadukan dengan tradisi dan budaya masing-masing daerah.

“Simak juga: Viral Film Animasi Merah Putih Rp6,7 Miliar, Wamen Irene Umar Tegas Bantah Ada Bantuan Finansial!”

Ketupat sebagai Wujud Identitas dan Kebersamaan dalam Masyarakat

Makanan ini menjadi simbol kebersamaan dan identitas budaya yang menyatukan masyarakat terutama saat Lebaran. Dengan adanya tradisi ini, nilai-nilai seperti saling memaafkan, berbagi, dan menyucikan diri menjadi bagian yang melekat dalam kehidupan sosial umat Islam. Masyarakat pesisir yang menggunakan janur kelapa sebagai bahan anyaman menunjukkan bagaimana alam dan lingkungan memengaruhi budaya kuliner mereka. Hidangan khas ini juga menjadi sarana untuk mempererat hubungan antarwarga melalui tradisi Lebaran yang dilaksanakan pada hari kedelapan bulan Syawal. Dengan demikian, makanan ini bukan hanya sekadar santapan tetapi juga simbol pengikat sosial dan spiritual yang memperkaya makna perayaan Idul Fitri.