MBG

Keracunan di Mana-mana, Kenapa Pemerintah Malah Ogah Hentikan MBG?

Culinary Portal – MBG atau Makan Bergizi Gratis menjadi salah satu program unggulan pemerintahan Prabowo Subianto yang kini sedang berada dalam sorotan tajam. Ribuan kasus keracunan yang menimpa pelajar di berbagai daerah memicu desakan agar program ini dihentikan sementara. Data dari Badan Gizi Nasional mencatat ada 6517 orang yang menjadi korban sejak program diluncurkan pada Januari 2025. Dari jumlah itu, ribuan kasus terjadi di Pulau Jawa dan ratusan lainnya di Sumatera serta Indonesia bagian timur. Publik kemudian mempertanyakan mengapa program yang dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia justru menimbulkan dampak sebaliknya. Pemerintah menolak menghentikan pelaksanaan MBG, bahkan tetap bersikeras melakukan evaluasi sembari melanjutkan distribusi makanan. Sikap ini membuat muncul kritik dari pengamat kebijakan publik yang menilai pemerintah tidak sensitif terhadap penderitaan korban serta keluarga mereka. Kasus ini pun kini menjadi perdebatan nasional antara kebutuhan gizi dan keselamatan masyarakat.

Pemerintah Enggan Menghentikan MBG

Kebijakan untuk tetap menjalankan MBG meski ada ribuan korban keracunan menimbulkan banyak tanda tanya. Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana menjelaskan bahwa masalah utama muncul akibat dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi tidak mematuhi Standar Operasional Prosedur. Bahan makanan kerap dibeli jauh sebelum waktunya dan pengolahan tidak mengikuti aturan. Beberapa kasus di Bandung bahkan menunjukkan durasi memasak hingga pengiriman melewati lebih dari enam jam. Pemerintah menjanjikan akan mengeluarkan peraturan presiden tentang tata kelola MBG, namun kritik terus bermunculan karena langkah itu dianggap lamban. Pengamat menilai alasan enggan menghentikan program lebih disebabkan karena MBG adalah janji politik dan program unggulan presiden. Ketakutan bahwa penghentian akan merusak wibawa politik membuat evaluasi total sulit dilakukan. Padahal, desakan publik semakin keras mengingat korban berasal dari kalangan pelajar yang semestinya mendapat perlindungan maksimal.

“Baca juga: Rahasia Sambal Ganja Aceh Terbongkar! Bikin Sekali Coba Langsung Ketagihan”

Kritik dari Akademisi dan Pengamat

Para pakar menilai pemerintah terlalu melihat korban keracunan MBG hanya dari sudut angka statistik. Cusdiawan dari Universitas Pamulang menegaskan bahwa satu nyawa saja seharusnya sangat berharga, bukan dianggap sekadar persentase kecil dari keseluruhan penerima program. Ia menilai sikap pemerintah dalam menanggapi kritik publik justru defensif dan terkesan antikritik. Hal ini mencerminkan kurangnya sensitivitas terhadap penderitaan keluarga korban. Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia Ali Rifan menambahkan bahwa MBG tidak bisa dilepaskan dari janji politik Prabowo ketika kampanye. Pemerintah merasa wajib menunaikannya sehingga apapun risikonya program tetap berjalan. Ali menyebut tujuan besar MBG sebenarnya adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia agar mampu bersaing dengan negara lain. Namun, jika dalam pelaksanaannya menimbulkan banyak masalah, seharusnya evaluasi menyeluruh dilakukan dengan berani meski harus menghentikan sementara.

“Simak juga: Oktober Panas! 5 Film Indonesia Tayang di Netflix, Dari Gundik Sampai Gowok”

Kuantitas Lebih Diprioritaskan daripada Kualitas

Pakar kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menyebut pemerintah selama ini lebih fokus pada jumlah penerima manfaat MBG. Keberhasilan program diukur dari sisi kuantitas, bukan kualitas. Bagi pemerintah, semakin banyak pelajar yang menerima makanan dianggap sebagai tanda keberhasilan, meskipun di lapangan ada kasus keracunan yang terjadi berulang. Trubus menilai pemerintah menganggap kasus tersebut sebagai risiko kebijakan yang wajar. Ia juga berpendapat menghentikan MBG bukanlah pilihan realistis karena anggaran sudah disiapkan dan tidak bisa dialihkan. Sebagai solusi, Trubus mengusulkan dapur MBG dikendalikan dengan pengawasan lebih ketat. Setiap SPPG sebaiknya hanya mengelola porsi terbatas, bahkan dikembalikan ke sekolah agar kepala sekolah dan komite turut bertanggung jawab. Dengan keterlibatan orang tua dan pihak sekolah, kualitas pengolahan makanan bisa lebih terjamin dan risiko keracunan dapat ditekan secara signifikan.

MBG Antara Tujuan Mulia dan Tantangan Pelaksanaan

Di balik maraknya kasus keracunan, tujuan utama MBG tetap dianggap penting bagi pembangunan manusia Indonesia. Pemerintah meyakini program ini bisa memperbaiki kualitas gizi anak bangsa sekaligus meningkatkan produktivitas di masa depan. Ali Rifan menegaskan MBG bukan sekadar soal makanan, melainkan simbol keberpihakan terhadap generasi muda. Namun, kelemahan dalam tata kelola dan lemahnya pengawasan membuat program yang semestinya mulia justru membawa risiko besar. Kasus keracunan di berbagai daerah telah memperlihatkan bahwa pelaksanaan tidak sejalan dengan tujuan awal. Banyak pihak menilai, evaluasi menyeluruh dan langkah berani sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan program. Jika tidak ada perubahan signifikan, MBG berpotensi kehilangan legitimasi publik. Pemerintah pun dituntut untuk membuktikan bahwa keberlanjutan program ini bukan hanya kepentingan politik, tetapi benar-benar ditujukan untuk kesehatan dan masa depan anak Indonesia.